KPK, Anak Kandung Reformasi yang tak Lagi Bebas

KPK, Anak Kandung Reformasi yang tak Lagi Bebas

(sumber gambar : situs resmi KPK)


Korupsi merupakan salah satu topik pembahasan yang sensitif dan tidak pernah ada habisnya ketika diperbincangkan, dari hari ke hari, tahun ke tahun, hingga rezim ke rezim. Sebab korupsi merupakan tembok besar yang menghalangi pembangunan dari berbagai aspek. Baik itu ekonomi, politik, sosial budaya dan lain lain. Dari perspektif kenegarawan, pertumbuhan ekonomi suatu negara akan berkembang pesat jika di dalamnya terdapat pemerintahan yang baik(Good Governance). Namun sebaliknya, jika pemerintahan tidak dapat dikendalikan dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi akan sangat lemah, selanjutnya negara akan dilanda oleh krisis moneter.

Seperti yang telah terjadi di indonesia contohnya, korupsi sejak dulu telah tumbuh dan berkembang di struktur resmi pemerintahan. Kemudian berdampak pada krisis moneter era 1997-1998. Kondisi demikian membuat publik menjadi geram, sehingga mendatangkan ombak perlawanan dari kalangan aktivis mahasiswa pada era tersebut. Perlawanan besar-besaran itu telah berhasil menumbangkan status orde baru yang dianggap sebagai rezim pemerintahan otoriter dan korup. Singkatnya, lahirlah rezim reformasi. Rezim yang diharapakan mampu menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar kuat. Lepas dari kemiskinan, lepas dari pemerintahan yang otoriter, demokratis, dan sejahtera sejatinya sebuah bangsa yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah ruah.
Untuk menghadapi kondisi tersebut, tentu membutuhkan kebijakan dan penegakan hukum yang kuat sebagai intrumennya. Oleh karena itu, lahirlah UU Nomor 31 Tahun 1999 yang saat ini telah terjadi perubahan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya diikuti dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU inilah yang menjadi dasar hukum terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melihat alur sejarah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa KPK merupakan anak kandung dari gerakan reformasi itu sendiri.
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (biasa disingkat KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada PresidenDPR, dan BPK. KPK memiliki tugas untuk koordinasi dengan instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Pasal 6, UU Nomor 30 Tahun 2002).
Baru-baru ini, dipertengahan tahun 2019, KPK kembali muncul menjadi perbincangan hangat. Bukan perihal penangkapan tersangka korupsi atapun penanganan kasus masalah korupsi lainnya melainkan, sejak diadakannya sidang paripurna DPR yang digelar pada hari kamis, 5 September 2019 yang membahas perihal revisi UU KPK banyak pro dan kontra yang bermunculan, namun tidak ada tanggapan dari pemerintah sampai akhirnya revisi UU KPK tersebut disahkan pada tanggal 17 September 2019.

(sumber gambar : liputan6.com)
Pengesahan revisi UU KPK yang dianggap terlalu cepat dan terkesan terburu-buru mengundang banyak perhatian publik. Banyak sekali tanggapan dari berbagai lapisan masyarakat perihal keputusan DPR tersebut.
Selain waktu pengesahan yang terkesan terburu-buru, banyak masyarakat yang memperdebatkan pasal-pasal hasil revisi UU KPK tersebut yang dianggap kontroversial, beberapa  pasal tersebut adalah :
1.             KPK Tidak Lagi Lembaga Negara Independen
Pasal 1 ayat (3), Pasal 3 UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.
2.             Pembentukan Dewan Pengawas
Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 37 A UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas a) Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang; Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a.
3.             Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas
Pasal 37 B ayat (1) huruf b: Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
4.             Dewan Pengawas Campur Tangan Eksekutif Pasal 37 E ayat (1): Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
5.             KPK Tidak Bisa Membuka Kantor Perwakilan
Pasal 19 ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
6.             Kaum Muda Tidak Bisa Menjadi Pimpinan KPK
Pasal 29 huruf e: Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.
7.             KPK Dapat Menghentikan Penanganan Perkara
Pasal 40 ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
8.             Perkara Besar Dengan Tingkat Kerumitan Tertentu Berpotensi Dihentikan
Pasal 40 ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
9.             Menggerus Kewenangan Pimpinan KPK
Pasal 21 ayat (4) sebagaimana diatur dalam UU KPK sebelumnya dihapus. Isinya: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah penyidik dan penuntut umum.
Penghilangan status penyidik dan penuntut pada Pimpinan KPK berakibat serius, karena Pimpinan KPK dapat dikatakan hanya menjalankan fungsi administrative saja, tidak bisa masuk lebih jauh dalam penindakan. Jadi, ke depan Pimpinan KPK tidak bisa memberikan izin penyadapan, penggeledahan, maupun tindakan pro justicia lainnya.
10.         Pegawai KPK Akan Berstatus Sebagai Aparatur Sipil Negara Pasal 1 angka 6, Pasal 24 ayat (2): Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.
11.         Hilangnya Independensi KPK Dalam Perekrutan Penyelidik
Pasal 43, Pasal 43 A: Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi; Persyaratan menjadi Penyelidik diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Kepolisian dan/atau Kejaksaan.
12.         Menghilangkan Kewenangan KPK Mengangkat Penyidik Independen
Pasal 45, Pasal 45 A: Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dan penyeleidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
13.         Kewenangan Penyadapan KPK Terganggu
Pasal 37 B ayat (1) huruf b, Pasal 12 ayat (1): Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.
14.         Penuntutan KPK Harus Berkoordinasi Dengan Kejaksaan Agung
Pasal 12 A: Dalam melaksanakan tugas penuntutan, penuntut Komisi Pemberantasan korupsi melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
15.         Hilangnya Kewenangan KPK Pada Tingkat Penyelidikan dan Penuntutan
Pasal 12 ayat (2): Dalam melaksanakan tugas penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:
a.    memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri
b.   meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa
c.    memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait
d.   menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa
e.    meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri
f.     meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Dari kelima belas pasal tersebut dapat disimpulkan ada 5 poin penting yang mengundang reaksi masyarakat, yaitu : independensi, dewan pengawas, izin penyadapan, kewenangan terkait SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) dan asal penyelidikan dan penyidikan yang dianggap tidak selaras dengan semangat pemberantasan korupsi serta memanjakan para koruptor, mereka juga khawatir revisi UU KPK berpotensi untuk melemahkan KPK.

Salah satu poin yang menarik bagi saya adalah perihal hilangnya independensi atau kebebasan KPK dalam menjalankan tugasnya yang saat ini mulai dibatasi akibat dari adanya revisi UU KPK itu sendiri seperti pada pasal 37 B ayat (1) huruf b, Pasal 12 ayat (1) dimana dalam proses penyadapan KPK harus meminta dan mendapatkan izin dari dewan pengawas. Padahal dewan pengawas itu sendiri belum diketahui pasti dari mana asalnya.
Tidak hanya itu kebebasan KPK juga terasa dibatasi karna hadirnya dewan pengawas Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai keberadaan dewan pengawas KPK tergolong aneh lantaran memiliki kewenangan yudisial. Misalnya, memberikan izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan.

"Sesuatu yang aneh secara sistemik karena dewas (dewan pengawas) bukan aparatur penegak hukum," kata Ficar kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/9).

Ficar menyebut keberadaan dewan pengawas ini justru bakal membuat KPK menjadi lembaga yang tidak independen. Tentu karena Presiden memiliki peran besar dalam menentukan anggota dewan pengawas yang memiliki banyak wewenang. Ditambah, dalam UU KPK yang baru, wewenang komisioner KPK sebagai penyidik dan penuntut umum dicabut. Hal itu bisa membuat KPK menjadi lemah karena wewenang komisioner semakin terbatas.

"Karena aktivitas sebagai penegak hukumnya dibatasi dengan kontrol dewas sebagai kepanjangan tangan presiden," ujarnya.
Menurut Ficar, keberadaan dewan pengawas ini juga kemungkinan besar bakal membuat kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) hilang lantaran penyadapan harus menunggu izin.
Ia pun khawatir terjadi potensi tebang pilih dalam menjerat tersangka dengan latar belakang penyelenggara negara dari partai tertentu. Terutama partai yang berseberangan dengan pemerintah lantaran kewenangan yang besar dari dewan pengawas.

"Karena itu mungkin tidak akan lagi ada OTT seperti dulu, karena kontrol dewas (dewan pengawas) akan ketat," tuturnya.
Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menyebutkan jika ada argumen yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun pendukungnya bahwa revisi Undang-Undang (UU) KPK tidak melemahkan, maka hal itu menyesatkan masyarakat. Menurut dia, argumen bahwa revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi justru menguatkan KPK adalah salah total. "Semua yang mau dibahas akan melemahkan KPK. Kajiannya sudah banyak, bahwa KPK ditempatkan di bawah Presiden saja, ada dewan pengawas, itu melemahkan. Intinya semua pasal melemahkan, jadi kalau ada argumen mau menguatkan itu menyesatkan masyarakat," tegas Bivitri kepada Kompas.com, Jumat (13/9/2019).
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan tugas dewan pengawas mestinya hanya mengawasi kinerja dan prosedur etik pimpinan atau pegawai KPK yang melakukan pelanggaran. Dewan pengawas, kata Boyamin, tidak perlu masuk dalam teknis penanganan perkara, seperti memberikan izin untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Ia menilai keberadaan dewan pengawas hanya mengambil peran pimpinan dan mengkerdilkan lembaga antikorupsi. Bahkan, Boyamin menyebut dewan pengawas menjadi 'organ' Jokowi di KPK.

"Tujuan dewan pengawas jelas mengerdilkan KPK apalagi penunjukkan dewas (dewan pengawas) hanya oleh presiden. Dewan pengawas 'organnya' presiden (Jokowi) di KPK," kata Boyamin kepada CNNIndonesia.com.
Hal serupa diungkapkan anggota DPR dari Fraksi PKS Ledia Hanifa Amalia. Menurut Ledia, Fraksi PKS menganggap Dewan Pengawas menyebabkan KPK tidak bekerja independen dan kredibel. Dan itu tidak selaras dengan misi revisi, yaitu, “memberikan penguatan kepada KPK.” PKS juga mengkritisi keharusan KPK meminta izin penyadapan ke Dewan Pengawas, kata Ledia. Baca juga: Pemuda Muhammadiyah: Jokowi Tersandera Koruptor Usai Revisi UU KPK Penyadapan adalah senjata KPK mencari bukti dalam mengungkap kasus extraordinary crime. Karena itu sebaiknya KPK tidak perlu minta izin, tapi sebatas lapor ke Dewan Pengawas saat menyadap. “Dan monitoring ketat agar penyadapan tidak melanggar hak asasi manusia,” katanya. 
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana memandang pemerintah maupun DPR memiliki logika keliru dengan membentuk dewan pengawas bagi KPK. Menurutnya, lembaga independen seperti KPK tak mengenal ada suatu kelembagaan dewan pengawas.

"Akan tetapi lebih ke membangun sistem pengawasan KPK. Selama ini sistem pengawasan KPK sudah berjalan, dalam konteks mereka membentuk Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat," ujarnya.
Berbeda pendapat dengan para tokoh diatas, presiden Joko Widodo menyebutkan keberadaan dewan pengawas KPK diperlukan karena semua lembaga atau instrument pemerintahan bekerja di bawah pengawasan untuk keberlangsungan fungsi check and balancies,  bahkan termasuk presiden.
Menurut saya adanya dewan pengawas menghambat bahkan mempersulit kerja KPK dalam memberantas korupsi. Karena diharuskan adanya perizinan sebelum diadakan penyelidikan, penyadapan. padahal KPK sendiri memiiki wewenang istimewa untuk melakukan penyadapan dengan leluasa tanpa adanya syarat atau ketentuan tertentu. Karena hal ini saya merasa KPK tidak lagi dapat bergerak dengan bebas dalam memberantas para penjahat negara.
Tapi apa boleh buat keresahan kami tidak juga didengar, pemerintah seolah besikap acuh terhadap masalah ini. dan alhasil revisi UU KPK ini pun tetap disahkan. Saya berharap hasil revisi UU KPK ini dapat meningkatkan kinerja KPK dalam dalam membangun negri bukan malah melemahkan KPK. Semoga saja dewan pengawas yang terpilih nantinya benar-benar menjalankan tugas nya dengan baik dapat berkerja sama dengan KPK dalam memberantas tikus-tikus yang sedang asik memakan aset negara. 
referensi :
Nama : Eriza Yulianti
kelas : Penerbitan 1B
NIM : 19030046
Dosen pembimbing : Nurul Akmalia, S.Ikom, M.Med.kom 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulo Geulis, Pulau Yang Menjadi Kampung Wisata di Bogor

Menikmati Kelezatan Bakso Gulung Bragi Yang Unik